GUNADARMA

GUNADARMA

Sabtu, 21 November 2009

EKONOMI PASAR YANG NEO-LIBERALISTIK VERSUS EKONOMI BERKEADILAN SOSIAL *


1
EKONOMI PASAR YANG NEO-LIBERALISTIK VERSUS
EKONOMI BERKEADILAN SOSIAL *
Oleh: Bonnie Setiawan **
Media biasa menggunakan kata-kata: "Rupiah anjlok karena pemerintah tidak mengikuti kemauan
pasar atau kehendak pasar". Inilah yang dimaksud sebagai keterikatan terhadap Modal atau
keterikatan terhadap Ekonomi Pasar. Arti yang dimaksud dari istilah "pasar" tersebut adalah
sistem ekonomi yang kapitalistik. "Pasar Bebas" artinya kebebasan bergerak dari ekonomi modal
(dan para pemilik modal) sebebas-bebasnya. Pasar bebas adalah mesin utama dari Globalisasi
yang saat ini sedang naik daun. Dan untuk memahami Pasar Bebas ini, maka orang perlu
memahami Neo-Liberalisme (liberalisme baru). Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini
sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret
Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan
dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia,
IMF dan WTO.
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang badan-badan
multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik di negara-negara maju;
kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kita
dapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF; kita dapat memahami
mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa BUMN didorong untuk diprivatisasi;
kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami
mengapa impor beras dan bahan pangan lain masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami
mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang
membingungkan dan memperdayai publik.
Nama dari program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP
(Structural Adjustment Program). Program penyesuaian struktural merupakan program utama dari
Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai istilah-istilah seperti
fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama. Di balik nama
sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal" terhadap
struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan mekanisme pasar bebas murni. Jadi
Pasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya), Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP
adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme
global.
PASAR BEBAS VERSI NEO-LIBERALISME
Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek
(1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Hayek terkenal juga dengan julukan
ekonom ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus monetarisme.
Pada saat itu adalah juga masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh John
Maynard Keynes. Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi besar tahun
1929-1930. Terutama setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program "New-Deal"
maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia ke-II, maka
Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu terkenal
sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian. Dasar pokok
dari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan ekonomi.
Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja
* Disampaikan pada Diskusi Publik “Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial” yang diadakan oleh ‘Forum
Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi’ tanggal 12 Juni 2006 di DPR-RI, Jakarta.
** Direktur Eksekutif di Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta. igj@globaljust.org
2
penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar. Dalam bukunya yang
terkenal di tahun 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan
kepentingan umum. Katanya, “Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsipprinsip
ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu
bersesuaian dengan kepentingan umum”. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant economy
sampai tahun 1970-an.
Sementara itu neo-liberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan sudah
merasa gelisah dengan mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan semacam neoliberal
sama sekali tidak populer. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga universitas
utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut Universitaire de
Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang kemudian
setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neo-Liberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin, Pertemuan
mereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh bankir-bankir
Swiss. Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan terkemuka,
Fortune, Newsweek dan Reader's Digest. Lembaga ini merupakan "semacam freemansory neoliberal,
sangat terorganisir baik dan berkehendak untuk menyebarluaskan kredo kaum neo-liberal,
lewat pertemuan-pertemuan internasional secara reguler".
Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah "The
Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku tersebut kemudian
menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Reader’s Digest di tahun 1945. Ada kalimat di
dalam buku tersebut: "Pada masa lalu, penundukan manusia kepada kekuatan impersonal pasar,
merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban, sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa itu.
Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam membangun
sesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami". Neo-liberal
menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan
individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam
kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan
pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu
akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar
dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para
individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu disalurkan melalui lembagalembaga
kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada Serikat Buruh
atau organisasi masyarakat lainnya.
Dengan demikian Neo-liberal secara politik terus terang membela politik otoriter. Ini ditunjukkan
oleh Hayek ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, "Seorang diktator dapat saja berkuasa
secara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensi
personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih pemerintahan
demokratis yang tidak punya liberalisme". Demokrasi politik, menurut neo-Liberal, dengan
demikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam
melakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi yang
pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan salah seorang pentolan neo-Liberal,
William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan
kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila
terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka mereka
memilih untuk mengorbankan demokrasi.
Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ antara
tahun 1950 sampai 1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya. Karena itu
mereka juga terkenal sebagai "Chicago School". Buku Friedman adalah "The Counter Revolution
in Monetary Theory", yang menurutnya telah dapat menyingkap hukum moneter yang telah
diamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum ilmu alam. Friedman
percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan demikian,
neo-Liberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam
3
masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-mata
dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar kebebasan memilih dan
persaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi pada segelintir
kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neo-Liberal. Karenanya demokrasi ekonomi tidak ada di
dalam agenda kaum neo-Liberal.1
Pandangan kaum neo-Liberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka anti
terhadap welfare state (negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi. Tetapi mengapa
mereka bisa berjaya sekarang? Susan George menjawabnya, bahwa mereka berasal dari sebuah
kelompok kecil rahasia dan mereka sangat percaya pada doktrin tersebut, yang kemudian dengan
bantuan para pendananya, membangun jaringan yayasan-yayasan internasional yang besar,
lembaga-lembaga, pusat-pusat riset, berbagai publikasi, para akademisi, para penulis, serta
humas yang mengembangkan, mengemas dan mempromosikan ide dan doktrin tersebut tanpa
henti. Kata Susan, “mereka membangun kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya karena
mereka memahami apa yang disampaikan oleh pemikir marxis Itali Antonio Gramsci ketika ia
berbicara tentang konsep hegemoni kultural. Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hati
dan tangan mereka akan ikut”.2 Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah Anthony
Fisher, seorang pengusaha sukses yang kemudian mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA)
pada tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya. Tujuan lembaga ini adalah
“menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai lembaga
pendidikan mapan lainnya”. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada Margaret
Thatcher, seperti dikatakan Milton Friedman, “Tanpa adanya IEA, maka saya meragukan akan
bisa terjadi revolusi Thatcherite”. Salah satu koran yang menjadi corong neo-Liberal di Inggeris
adalah The Daily Telegraph. Lembaga lain juga didirikan, yaitu Centre for Policy Studies (CPS) di
tahun 1974 yang sangat berpengaruh kepada para politisi di Inggeris. IEA kemudian melahirkan
Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976. Kerjasama mereka dengan Heritage Foundation,
didirikan di Washington tahun 1973 oleh lulusan LSE, adalah “guna membuat hal yang sama bagi
politik Amerika sebagaimana yang dilakukan oleh CPS kepada politik Inggeris”. Anthony Fisher
kemudian menjadi presiden pertama dari lembaga Fraser Institute di Kanada di tahun 1974. Di
tahun 1977, ia mendirikan International Centre for Economic Policy Studies di New York, di mana
salah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang kemudian menjadi Direktur CIA. Tahun 1979, Fisher
mendirikan Institute for Public Policy di San Francisco. Fisher juga terlibat dalam mendirikan
Centre for International Studies (CIS) di Australia, di mana Direkturnya Greg Lindsay merupakan
kontributor penting berkembangnya ide pasar bebas di politik Australia. Dalam rangka
memudahkan mengelola berbagai lembaga tersebut, Fisher mendirikan Atlas Economic Research
Foundation yang menyediakan struktur kelembagaan pusat, yang di tahun 1991 mengklaim
membantu, mendirikan, membiayai sekitar 78 lembaga serta mempunyai hubungan dengan 81
lembaga lainnya di 51 negara. Ketika tembok Berlin rubuh, maka banyak personelnya yang pindah
ke Eropa Timur guna “merubah ekonomi-ekonomi yang sakit menjadi kapitalisme”.3
Para ekonom neo-Liberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di tahun
1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel Ekonomi di
tahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat Nobel
Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pulalah seluruh
paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal, termasuk ke
dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO).
Dengan demikian Margaret Thatcher menjadi pengikut dari Hayek, sedangkan murid dari
Friedman adalah Ronald Reagan. Inilah yang menghantar neo-Liberal menjadi ekonomi
mainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan Reaganomics. Thatcher sebenarnya adalah
1 Lihat dalam Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of Global Finance, Pluto Press, 1999,
hlm. 178-182; dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998, hlm. 36-39.
2 Susan George, “A Short History of Neoliberalism”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal Malhotra
(ed.), Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, Zed Books, 2000, hlm. 28-
29.
3 Ted Wheelwright, “How Neo-Liberal Ideology Triumphed”, Third World Resurgence, No. 99/1998, hlm. 11-
12.
4
seorang social-darwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan kemudian menjadi
salah satu pengikutnya. Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi – kompetisi di antara
negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu.
Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi
dalam pasar bebas pasti baik dan bijaksana. Kata thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk
terus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalan
keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yang
tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan
tetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada
semua orang. Hasilnya, di Inggeris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup di
bawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari tiga anak
dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk memperlemah kekuatan Serikat
Buruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka Thatcher sekaligus memperlemah Serikat-
Serikat Buruh di BUMN yang merupakan terkuat di Inggeris. Dari tahun 1979 sampai 1994, maka
jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%).
Pemerintah juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar pajak) untuk menghapus hutang
dan merekapitalisasi BUMN sebelum dilempar ke pasar. Contohnya Perusahaan Air Minum (PAM)
mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untuk
membuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta. Demikian pula di Amerika, kebijakan neo-
Liberal Reagan telah membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang. Selama
dekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat
pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini berkebalikan
dengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke titik nadir,
kehilangan pendapatan15%.4
Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-Liberal
menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO. Tiga poin
dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran
modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-Liberal telah memenuhi pola
pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang
standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya.
Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal.
Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:5
1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang
dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan
investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak
buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang
dan jasa.
2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti
terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’
untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti
jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka
tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi
keuntungan pengusaha.
4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta.
Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit,
bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya
berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar
lebih banyak.
5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS.
Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk
4 Susan George, Ibid., hlm. 29-31.
5 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, “What is Neo-Liberalism?”, Third World Resurgence No. 99/1998,
hlm. 7-8.
5
mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan
sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program neo-
Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:6
1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponenkomponen:
(a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b) Devaluasi; (c)
Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku bunga
kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan
penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-luasnya
dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c)
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d)
memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang
lebih luas dan longgar.
3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi
krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang merupakan
gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.
Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika pemerintah
mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam berbagai
paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis hutang
dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default (menyatakan tidak mampu membayar
hutangnya). Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang
terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan
Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi
sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal, khususnya
karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.
LIBERALISME EKONOMI YANG MEMATIKAN
Berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan di awal tahun 1980-an adalah awal dari
liberalisme ekonomi dan dominasi paham neo-liberal di antara para ekonom. Sejak itu berbagai
kebijakan, peraturan, dan tindakan pemerintah adalah untuk melayani kepentingan korporasi, yang
pada masa itu adalah para konglomerat Orde Baru, keluarga Suharto dan TNC yang
digandengnya. Dengan liberalisme itu, mereka menjarah berbagai asset dan sumberdaya nasional
untuk memenuhi kepentingan keserakahan modal dan kehidupan serba mewah mereka.
Globalisasi melestarikan kompradorisme (kaki tangan dan kepanjangan tangan kapitalisme
internasional), tetapi sekaligus juga hendak menancapkan kukunya lebih dalam lagi guna
menguasai secara total perekonomian nasional suatu negara. Pada intinya adalah
menghancurkan kedaulatan nasional. Kaum komprador yang terlalu berkuasa secara nasional
juga tidak mereka sukai, seperti kerajaan bisnis Suharto serta kroni-kroni konglomeratnya, karena
seringkali mampu menghalang-halangi kepentingan kapital global untuk kepentingan mereka
sendiri yang mengganggu mekanisme pasar. Yang mereka inginkan sekarang adalah dominasi
sepenuhnya, mekanisme pasar sepenuhnya, dan kontrol hukum sepenuhnya.
Kita bisa mencatat banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudiannya telah menghancurkan
dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korban
berjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga
kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau
diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada
pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi, bad-governance dan lainnya;
6 Sritua Arif, Op.cit., hlm. 360-367.
6
karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya. Kenyataannya baik IMF/Bank
Dunia dan Pemerintah Orde Baru, dua-duanya bersalah dan harus bertanggungjawab.
Kita menghadapi dua masalah besar yang harus segera diselesaikan. Pertama, adalah sistem
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang parah. Indonesia menjadi bangsa yang celaka dan merugi
karena selama 32 tahun hanya membangun KKN. KKN ini terjadi karena pemerintahnya sejak
awal memang berorientasi untuk Korupsi, sehingga kekayaan nasional yang luar biasa besarnya
hanya dibagi di kalangan elite saja (keluarga Presiden dan kroni-kroni konglomerat serta elit
kekuasaan). Dan yang menyedihkan nampaknya system KKN masih terus berlanjut hingga kini.
Kedua, adalah sistem Pasar Bebas yang kapitalistik yang memanfaatkan KKN untuk keuntungan
pemodal asing (TNC/MNC) dari negara-negara maju. Contoh paling jelas adalah Freeport di
Papua dan Exxon di Aceh. Sistem pasar bebas dan globalisasi ini mengekalkan hubungan neokolonialisme-
imperialisme, sehingga Indonesia sukar sekali keluar dari ketergantungannya pada
negara-negara maju dan badan-badan dunia tersebut.
Di sini akan diberikan contoh-contoh kasus bagaimana kedua hal tersebut telah membawa
dampak luar biasa pada pemiskinan, penindasan dan penjualan bangsa secara besar-besaran
kepada asing; dan di lain pihak kaum elit komprador Orde Baru yang sampai sekarang masih tetap
bebas dari hukuman atas terjadinya malapetaka nasional ini dan terus melanggengkan situasi ini :
1. Perampokan besar-besaran Bank Sentral
Ini sesungguhnya adalah skandal keuangan Bank Sentral terbesar di dunia. Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia, adalah skema program bail-out (penalangan) utang perbankan (swasta dan
pemerintah) untuk dialihkan menjadi beban pemerintah lewat penerbitan obligasi. Ini adalah
bagian dari program pemulihan krisis ekonomi Indonesia yang dipaksakan oleh IMF lewat LoI,
bersama-sama dengan Bank Dunia dan ADB sejak bulan Oktober 1997. Semula BLBI
bernama KLBI yang bersifat “Kredit”; kini diganti menjadi bersifat “Bantuan”, sehingga tidak
jelas lagi aspek pertanggungjawabannya. BLBI secara jelasnya adalah bantuan dana yang
diberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, jadi merupakan utang
bank-bank penerima kepada BI. Akan tetapi melalui program penjaminan pemerintah, hak
tagih BI dialihkan kepada pemerintah. Untuk membayar hak tagih tersebut, pemerintah
menerbitkan Surat Utang (Obligasi) senilai Rp 164,53 trilyun dan juga menerbitkan Surat Utang
untuk penyediaan dana dalam rangka program penjaminan senlai Rp 53,77 trilyun.
Meskipun hakekatnya adalah pinjaman dengan persyaratan suku bunga, jangka waktu dan
jaminan tertentu, pada akhirnya menjadi pengurasan uang negara yang diduga dilakukan baik
oleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI sendiri. Pengurasan tersebut diperkirakan
telah mencapai Rp 144,53 trilyun (per-29 Januari 2000). Laporan audit investigasi BPK tanggal
31 Juli 2000 mengungkapkan dugaan penyimpangan tersebut. Potensi kerugian negara yang
ditimbulkannya adalah Rp 138,44 trilyun (95,78%) dari dana penyaluran BLBI. Sementara
penyimpangan dari bank penerima dana BLBI berupa berbagai pelanggaran yang mencapai
nilai Rp 84,84 trilyun (59,7%) dari dana BLBI, dilakukan oleh 48 bank penerima. Sementara itu
kerugian dan dampaknya terhadap APBN juga luar biasa. Pemerintah dengan ini mempunyai
kewajiban untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut, yang dibayar dari dana
APBN. Di tahun 2001 diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut mencapai Rp 55,7
trilyun, artinya sekitar 18,9% dari APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban utang
BLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran APBN untuk keperluan subsidi masyarakat
hanya mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan pembangunan hanya 11,3% (Rp
33,3 trilyun). Dengan skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh IMF, maka telah
mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat lewat APBN.7
2. Tambal sulam kemiskinan lewat utang
7 “BLBI: Bantuan atau Bencana”, Pernyataan Bersama LSM Tentang Penyelesaian Kasus BLBI; LoI dan
MEFP 31 Oktober 1997, di www.imf.org
7
Program pinjaman dari Bank Dunia dan ADB dengan nama SSNAL (Social Safety Net
Adjustment Loan) atau pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan
sejak terjadinya krisis. Besarnya US$ 600 juta yang tahap pertamanya telah dikucurkan
sebesar US$ 300 juta pada Januari 2000. Merupakan politik etis dari Bank Dunia agar krisis
yang terjadi tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan yang bisa merugikan
kepentingan Bank Dunia sendiri. Sejak awal telah ditentang oleh para aktivis, karena hanya
menambah beban utang dan bersifat tambal sulam. Skema program JPS ini dibagi ke dalam
12 program, diantaranya OPK (Operasi Pasar Khusus), PDM-DKE (Pemberdayaan Daerah
dalam Mengatasi Dampak Ekonomi), DBO (Dana Bantuan Operasional), dan PKP (Padat
Karya Perkotaan). Sampai tahun anggaran 1999/2000 program JPS telah menghabiskan dana
Rp 15 trilyun.
Dalam kenyataannya, terbukti terjadi banyak penyimpangan. Salah satu bukti yang jelas
adalah sebesar Rp 8 trilyun dari Rp 17,9 trilyun dana JPS di tahun anggaran 1998/1999 malah
digunakan untuk kampanye otonomi luas Timor Timur dan Kampanye Pemilu 1998. Demikian
pula, dugaan penyelewengan dana JPS tahun 1999/2000 hampir sebanyak Rp 4,5 milyar dana
OPK dan Rp 500 juta dana PDM-DKE untuk 15 propinsi di Indonesia, di mana sebagian besar
penyelewengan (49%) terjadi di tingkat kecamatan. Demikian pula dari hasil audit BPK,
ditemukan bahwa dana JPS bidang pendidikan tahun 1998/1999 dan 1999/2000 terdapat
pengeluaran sebesar Rp 5,4 milyar yang diragukan kebenarannya, dan terdapat dana untuk
Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DPO) sebesar Rp 12,3 milyar yang tidak disalurkan
ke siswa dan sekolah. Juga ditemukan 21 kasus yang merugikan negara sebesar Rp 1,5
milyar, kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 75,6 juta, dan uang yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan (6 temuan) sebesar Rp 227,9 juta. Meskipun jelas ada banyak
penyimpangan, Bank Dunia dan pemerintah terus melanjutkan program ini. Baru kemudian
setelah terlihat bahwa program ini dapat menghancurkan kredibilitas Bank Dunia sendiri,
akhirnya pada Juli 2001 oleh Bank Dunia program ini dibatalkan sama sekali.
3. Penghancuran ketahanan pangan
Lewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff
impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain
itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar
melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas perdagangan beras,
itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus mengambil
pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga
telah diberlakukan dalam hal harga pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi
disubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi
petani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana
BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal, sementara harga
jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia atas
Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan pengurangan
tarif serta pengurangan subsidi.
Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dari
beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan beras
dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang masuk
ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal
produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan
mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton.
Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkan
menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan
penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia dengan
tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung
Priok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih
laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret
2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja
8
masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot tajam,
sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp
700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada
langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan
menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi
pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir besar.8
4. Penciptaan pasar tanah
Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu
mega-proyek yang disebut sebagai Land Administration Project (LAP). Ini adalah suatu proyek
ambisius mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah “Land Resource and Management
Planning” yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020) yang hendak merancang
suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah
terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima
tahun. LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran
nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan
sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang
oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan,
dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek
sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$
110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank
Dunia.
Pelaksanaan LAP I, sebagaimana sudah diduga, telah menimbulkan banyak masalah.
Registrasi tanah LAP I yang katanya menggunakan prinsip transparansi, partisipasi dan kontrol
masyarakat, ternyata tidak terjadi. Penemuan di lapangan oleh KPA (Konsorsium Pembaruan
Agraria) memperlihatkan adanya peluang bagi petugas untuk korupsi dan menipu warga.
Warga juga tidak mengetahui keberadaan LAP sampai petugas BPN datang mengukur tanah
mereka. Juga tidak ada standard biaya registrasi. Sebuah kasus di Depok, warga dikenakan
biaya Rp 50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp 11.500. Bahkan hasil analisis
dari Bank Dunia sendiri berjudul “The Social Assessment of the Land Certification Program:
The Indonesia Land Administration Project”, LAP I mempunyai banyak masalah, diantaranya
adalah: proyek tersebut tidak sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah telah bubar
sesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa ada jutaan hektar tanah yang merupakan “residual
claims”, yaitu tanah yang diambil secara paksa dari rakyat pada zaman Orde Baru. Masalah
“residual claims” ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ada proses sertifikasi.
LAP I juga mempunyai dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena nama-nama
perempuan tidak dimasukkan di dalam sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah mengenai
beban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat program LAP ini akan diambil dari
pemasukan UU PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di mana ditentukan setiap
transaksi tanah atau bangunan senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan dikenai
pajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali yang akan dibebankan pembayaran utang.
Secara keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di Indonesia, karena tanah kini
dijadikan obyek komoditas (barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan obyek
penguasaan pemodal besar dan TNC, dengan legalitas yang dijamin.9
5. Penguasaan air minum
Air minum telah dijadikan incaran banyak TNC dunia. Sektor Air disebut juga sebagai “emas
biru” (blue gold), merupakan sektor yang strategis sekaligus bisnis besar. Liberalisasi air
didorong pula oleh Bank Dunia. Dalam laporannya tentang kerangka kebijakan untuk sektor air
di perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework), Bank Dunia merekomendasikan
8 MEFP, 11 September 1998; Bisnis Indonesia, 13 April 2000, 2 Oktober 2000; Suara Pembaruan, 18 Maret
2000
9 KPA’s First, Second and Third Memorandum on Land Administration Project in Indonesia; “Hentikan LAP II
dan Tinjau LAP I”, Background Paper INFID untuk Lobby CGI, Oktober 2000
9
agar Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya – milik Pemda DKI – diswastakan. Tujuannya untuk
meringankan beban utang pemerintah. Dengan itu, Bank Dunia lalu memberikan pinjaman
sebesar Rp 2,4 trilyun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di dalamnya untuk pembiayaan
pengelolaan air minum. Hasilnya tanggal 12 Juni 1994, dikeluarkan instruksi presiden
(Suharto) untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya kepada
swasta (privatisasi). Proses privatisasi ini melalui proses KKN, di mana akhirnya dikuasai oleh
PT Kekarpola Airindo milik Sigit Harjojudanto dan Bambang Trihatmojo yang menggandeng
perusahaan air Inggeris, Thames Water International (TWI); dan oleh PT Garuda Dipta
Semesta milik Anthony Salim yang menggandeng perusahaan air dari Perancis, Lyonnaise des
Eaux (LDE). Padahal privatisasi ini jelas-jelas melanggar Konstitusi UUD 45 pasal 33 dan UU
No. 1 tahun 1961 yang melarang swastanisasi bisnis air minum. Setelah Suharto turun tahta,
akhirnya diambil alih oleh Pemda Jakarta lewat instruksi Gubernur Sutiyoso No. 131 tanggal 22
Mei 1998, tetapi dua perusahaan asing tersebut semakin dikukuhkan sebagai pengelola. Dua
perusahaan asing tersebut kemudian berganti nama menjadi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja)
dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Pemda DKI mengambil alih dengan saham 10 persen,
sementara Thames dan Lyonnaise sebagai pemilik saham mayoritas yaitu 90%. Mereka juga
mendapatkan hak eksklusif untuk mengelola seluruh asset PAM Jaya selama 25 tahun, tanpa
perlu membangun jaringan infrastruktur dan pelanggan, sehingga bisa langsung menangguk
keuntungan. Bayangkan saja captive market (pasar yang sudah pasti) dari PAM Jaya, yaitu 2,3
juta pelanggan.
Akan tetapi dalam penetapan harga air untuk semester I tahun 1999, PT TPJ menetapkan
harga Rp 2.400 per-meter kubik, dan Palyja Rp 2.900 pe-meter kubik. Padahal harga jual air
PAM Jaya ke konsumen jauh di bawah itu, yakni Rp 2.130 per-meter kubik. Hasilnya,
kekurangan tersebut harus ditutupi oleh perusahaan daerah ini. Sampai Oktober 2000, defisit
yang harus ditanggung pemerintah adalah sebesar Rp 86,4 milyar dengan beban utang Rp
394,6 milyar. Jadi alhasil sebenarnya pemerintah mensubsidi rakyat atau mensubsidi TNC?
Dan siapa yang membayar semua itu? Sampai kini pun layanan dan harga air tetap tidak
memuaskan. Akan tetapi PAM kini tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terikat kontrak
selama 25 tahun. Serikat Pekerja PAM yang juga telah berjuang untuk menentang proses ini,
justru 20 aktivisnya ditahan dan terus-menerus ditekan. Meskipun sudah berjuang lebih dari
dua tahun, nampaknya TNC dan pemerintah jalan terus. Nampaknya proses privatisasi ini
akan menjadi contoh bagi privatisasi air minum berikutnya di daerah-daerah lain.10
6. Mafia Utang lewat Kredit Ekspor
Fasilitas kredit ekspor disediakan oleh ECA (Export Credit Agencies and Investment Insurance
Agencies), yang merupakan badan milik pemerintah di negara-negara maju. Perannya adalah
merealisasikan berbagai proyek investasi dan infrastruktur berskala besar di negara-negara
berkembang. Badan ini memberikan asuransi risiko politik apabila ada “jaminan balik” (counter
guarantee) dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk menjamin keamanan
politik dan membayar kembali investasi yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal akibat
situasi politik. Meskipun merupakan proyek antar swasta, tetapi karena dijamin oleh
pemerintah, maka risiko hutang swasta bisa menjadi hutang pemerintah. Cara kerja ECA ini
mirip mafia, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol parlemen, tidak transparan, dan
tidak membuka informasi kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Sementara di Indonesia,
mega proyek yang didanainya, adalah proyek-proyek berbiaya tinggi yang penuh dengan KKN.
Di Indonesia proyek-proyek yang dibiayainya sebanyak 33 buah, yang biasanya merupakan
mega-proyek milik konglomerat, kroni dan anak-anak Suharto. Diantaranya adalah berbagai
pabrik pulp and paper, yaitu PT Tanjung Enim Lestari, PT Indah Kiat Pulp and Paper di
Sumatera Selatan, dan PT Riau Andalan Permai di Riau; tambang tembaga dan emas PT
Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa; proyek PLTGU Paiton I di Jawa Timur; serta berbagai
proyek semen, teknologi satelit, serta teknologi dan transport militer.
10 TEMPO, 27 November-3 Desember 2000
10
Dalam kenyataannya, semua mega-proyek ini bermasalah karena mark-up proyek dan korupsi
besar-besaran; serta membawa bencana, karena merusak lingkungan, menggusur rakyat dan
menambah beban hutang. Pada masa Suharto, dari tahun 1992-1996, hutang dari ECA
sebanyak US$ 28,2 milyar, atau 24% dari stok hutang Indonesia.Tiga besar ECA yang aktif di
Indonesia adalah Bank Exim Jepang (JEXIM, sekarang merger dengan OECF menjadi JBIC),
Bank Exim AS, dan Hermes dari Jerman. JBIC (Japan Bank for International Cooperation) kini
adalah ECA terbesar di dunia, yang juga mengelola proyek-proyek pinjaman bilateral
pemerintah Jepang. JBIC mendanai 10 proyek besar di Indonesia, yaitu PLTGU Paiton,
Tambang Batu Hijau, LNG Pertamina, Semen Indo-Kodeco, penyulingan minyak Pertamina,
Indocement, proyek listrik Jawa dan Jawa Barat, listrik Tambak Lorok, Tanjung Enim Lestari
pulp and paper, dan tambang INCO. ECA kini cenderung semakin menggantikan mekanisme
ODA (Overseas Development Assistance), karena besarnya kepentingan TNC-TNC di negara
maju untuk mengerjakan berbagai mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan bilateral
maupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena akan digaransi oleh pemerintah.
Artinya rakyat juga yang harus membayar hutangnya.11
7. Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitas
Perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights), salah satu perjanjian
di dalam WTO, telah diratifikasi oleh pemerintah. Ini adalah perjanjian HAKI (Hak Atas
Kekayaan Intelektual) terkait perdagangan, yang memberikan hak istimewa bagi individu atau
perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk, dan Hak Cipta; juga untuk Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang, dan Indikasi Geografis. Indonesia telah membuat 5 UU HAKI
sebagaimana di atas, karena harus bersesuaian dengan TRIPs. Dengan UU Paten, maka
berbagai barang temuan dapat dikuasai siapa saja yang mendaftarkannya terlebih dahulu.
Syaratnya adalah merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif, dan dapat
diterapkan dalam industri (produksi massal). Paten atas makhluk hidup, yaitu mikro-organisme
dan jasad renik juga dapat dipatenkan. Ini adalah kepentingan TNC bioteknologi yang telah
memantenkan berbagai benih dan tanaman hasil rekayasa genetik. Dengan TRIPs ini maka
akan terjadi bahaya besar lewat pematenan atas kekayaan intelektual milik publik /komunitas.
HAKI komunitas dapat saja dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing maupun para
peneliti/individu, dengan sekedar merubah proses dan produknya. Ini disebut sebagai biopiracy
(pembajakan hayati).
Hal ini telah terjadi dengan rempah-rempah Indonesia. Perusahaan kosmetik besar Jepang,
Shiseido, telah mematenkan kosmetiknya yang berasal dari berbagai bahan rempah di
Indonesia, seperti kayu rapet, kemukus, lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe jawa,
brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. Sementara itu Tempe, makanan tradisional Jawa,
juga telah dipatenkan. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah
milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai
minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan;
dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe.
Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten
mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang
diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin
Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai
dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat
dan putih telur. Demikian pula kasus pematenan disain kerajinan perak hasil kerja Suwarti di
Bali, oleh pengusaha asal AS. Justru kemudian Suwarti yang dituntut oleh pengusaha
tersebut, ketika dia masuk ke pasar Amerika. Suwarti tidak bisa berbuat apa-apa, karena biaya
peradilan HAKI sangat mahal untuk pengrajin seperti dirinya. Ini adalah kasus nyata
pembajakan HAKI komunitas Indonesia oleh pemodal besar. Kecenderungan ini akan semakin
meningkat. Padahal bagi orang Indonesia, berbagai kekayaan budaya itu tidak mungkin
dipatenkan, karena merupakan milik publik. Dalam kasus lain, paten atas benih dan tanaman
transgenik oleh TNC, akan mengancam keberlangsungan benih tradisional dan kelestarian
11 ECA NEWS, edisi I, Januari 2000; Stephanie Fried dan Titi Soentoro, “Export Credit Agency Finance in
Indonesia”, Jakarta, April 2000
11
tanaman. Petani akan semakin tergantung kepada benih-benih milik TNC. Di lain pihak, TNC
tersebut akan masuk langsung untuk menanamnya di negara bersangkutan, sebagaimana
yang terjadi dengan kasus Monsanto yang menanam kapas Bt di Sulawesi Selatan. Pertanian
lama-kelamaan akan menjadi lahan bisnis dan monopoli (paten) teknologi oleh TNC-TNC.
BAGAIMANA MEWUJUDKAN PEREKONOMIAN BERKEADILAN SOSIAL
Kini saatnya memformulasikan kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial yang memutus
keterikatan dan ketergantungan kepada agenda globalisasi. WTO dan IMF telah membatasi
pilihan-pilihan kebijakan yang ada dan memaksakan kebijakan yang hanya sesuai dengan agenda
mereka. Pada masa lalu mereka memakai pendekatan “Economic Growth” (pertumbuhan
ekonomi) sebagai doktrin, dan sekarang mereka menambahkan “Kompetisi Bebas” sebagai
doktrin. Ini harus ditentang dan dicarikan alternatifnya. Ada banyak alternatif yang tersedia
sebenarnya, asalkan kita tidak “turut dan manut” saja terhadap pasar bebas / globalisasi. Oleh
karena itu berbagai kelompok nasional harus berembuk dan berdialog bersama guna menetapkan
pokok-pokok pandangan dan visi nasional yang non-Pasar Bebas. Banyak alternatif yang mungkin
dilakukan (There Are Many Alternatives), yaitu:
1. Sistem ekonomi jangan berprinsip pasar bebas (liberalisme ekonomi). Haruslah mencontoh
berbagai pengalaman negara lain, termasuk AS, Jerman dan Jepang, yang dalam sejarahnya
juga memakai ekonomi merkantilis dan proteksionis ketimbang pasar bebas di masa awal
pembangunannya. Indonesia masih dalam tahap-tahap awal perkembangannya, dan
karenanya perlu menerapkan ekonomi yang proteksionis dan kerakyatan.
2. Sistem ekonomi haruslah mendahulukan pasar domestik dan menaruh di belakang orientasi
pada pasar ekspor. Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat produksi domestik
untuk pasar dalam negeri, sehingga memperkuat perekonomian rakyat; dan bukan untuk
melayani kepentingan TNC dan konglomerat atas pasar eksport.
3. Pertanian dijadikan prioritas utama perekonomian, karena di sinilah hidup mayoritas rakyat.
Karena itu alokasi untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) harus lebih besar
dari yang lain-lainnya. Pertanian harus dirubah melalui agrarian reform, sehingga terjadi
distribusi tanah dan sumberdaya yang merata. Selain itu diadakan berbagai kemudahan dan
fasilitas serta perlindungan bagi petani untuk memperkuat sektor pertanian.
4. Industrialisasi berdasarkan pada bahan baku setempat, sehingga tidak tergantung impor dari
luar. Ini berarti di satu pihak memperkuat sektor pertanian, sektor kelautan dan lain-lainnya;
serta memperkuat sektor industri itu sendiri serta industri-industri kecil yang terkait dengannya.
5. Diadakan perekonomian yang berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu negara menjalankan
berbagai peran penyelenggaraan barang publik (public goods) dan prasarana publik (public
facilities), seperti air, listrik, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Segala sesuatu
yang bersifat publik haruslah bersifat gratis.
6. Tidak tergantung kepada badan-badan multilateral, dan ikut serta merubah badan-badan
tersebut agar menjadi badan yang terutama melayani kepentingan negara-negara Dunia
Ketiga
7. Penghapusan sebagian besar hutang karena alasan-alasan etika, moral, dan ekonomi yang
layak.
8. Melepaskan diri dari rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang bebas (free-float
exchange rate); dan sebagai gantinya menetapkan kontrol modal (capital control) dan nilai
tukar tetap (fixed exchange).
9. Menyokong diadakannya Tobin Tax terhadap arus keluar masuk modal swasta yang saat ini
merupakan ‘hot money’ dan volatilitasnya sangat tinggi.
10. Menolak paham Neo-liberal dan mencari alternatif ilmu ekonomi yang lebih mencerminkan
kepentingan rakyat dan nasional, seperti dengan neo-protectionism, neo-keynesianism,
welfare state, ekonomi kerakyatan dan lain-lainnya.
11. Demokrasi yang diarahkan bagi penguatan aspirasi rakyat dan organisasi rakyat; kebebasan
berpikir, berbicara, berorganisasi; dan pemenuhan HAM sepenuhnya.
12. Kerjasama Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghadapi kepentingan negara-negara maju
(G-7, OECD), untuk di dapat resolusi yang layak bagi Dunia Ketiga, seperti memperkuat
12
kembali hasil yang telah dicapai UNCTAD lewat GSP (Generalized System of Preference) dan
pengurangan hutang.
Adapun rekomendasi kebijakan kongkrit yang perlu segera dilakukan agar kita bisa segera keluar
dari keterikatan kepada kapitalisme global adalah sebagai berikut:
Pertama, Indonesia tidak membutuhkan resep neo-lliberalisme sebagaimana saran IMF, Bank
Dunia maupun WTO. Indonesia harus dapat memilah-milah liberalisasi macam apa yang memang
dibutuhkan, dan liberalisasi macam apa yang harus ditolak mentah-mentah dan dibuang jauh-jauh.
Kedua, Indonesia harus segera memulai membenahi diri sendiri dan mengerjakan PR-nya yang
tidak kunjung diselesaikan, yaitu pemberantasan segera atas KKN, pemrosesan hukum atas
semua pelaku KKN Orba, dan penyitaan harta jarahan kaum KKN untuk kepentingan negara dan
program-program kesejahteraan rakyat.
Ketiga, perekonomian Indonesia harus kembali ke rel-nya, yaitu ekonomi kerakyatan
(sebagaimana yang digagas oleh Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain). Ekonomi kerakyatan ini
menempatkan rakyat Indonesia sebagai kekuatan dasar perekonomian, yang mampu
menggerakkan roda perekonomian lewat penguatan pasar domestik (nasional, wilayah,lokal);
penguatan pertanian dan pedesaan yang masih sekitar 70% perekonomian nasional; dan
penguasaan dan pengelolaan sepenuhnya kekayaan alam Indonesia yang melimpah-ruah.
Keempat, memutus sepenuhnya ketergantungan pada badan-badan multilateral, seperti IMF,
Bank Dunia dan WTO. Hutang yang merupakan mekanisme ketergantungan harus segera diputus,
dengan menghapus hutang haram dan peringanan berbagai beban hutang lainnya. Demikian pula
forum WTO harus dirubah menjadi forum bagi kepentingan negara-negara berkembang, dan untuk
itu Indonesia harus memainkan peran yang kuat dan tegas, sebagai salah satu pemimpin negara
berkembang.
Apakah dengan memutus keterikatan kepada kapitalisme global tersebut, berarti kita akan
diasingkan atau mengisolasi diri. Tidak sama sekali! Indonesia tetap ada dalam kapitalisme global,
sebagaimana RRC, Kuba, Vietnam, Libya, Iran atau Venezuela. Akan tetapi Indonesia tidak diikat
oleh agenda neo-liberalisme, tetapi mempunyai kebijakan ekonomi-politiknya sendiri yang sesuai
dengan kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Bila tetap terikat, maka kita hanya akan menjadi
bangsa kuli yang rendah. Bila tidak terikat, maka akan menjadi bangsa yang disegani dan tuan
atas dirinya sendiri. Tentu saja tidak harus konfrontasional terhadap kekuatan kapitalisme global
(yaitu AS dan Eropa Barat). Perjuangan politik tetap bebas-aktif dan berdaulat. Perjuangan utama
tetap di jalur ekonomi, yaitu dengan mensejahterakan rakyat miskin dan mengikis habis korupsi.
Banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk merebut kembali “kedaulatannya”, sebagai
bangsa yang besar dan kuat, dan tidak disepelekan dan diinjak-injak oleh negara-negara lain dan
badan-badan global. Asumsi dasarnya adalah, kalau rakyat Indonesia kuat, maka negaranya juga
akan kuat. Kalau rakyatnya sejahtera, maka negaranya juga akan sejahtera. Kalau rakyatnya
cerdas, maka negaranya juga akan cerdas. Inilah yang seharusnya terus dipikirkan oleh kita
tentang Indonesia masa depan yang lepas dari diktator pasar kapitalisme global.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar