Rezim diktator mana saja acapkali hidup dalam khayalan-khayalannya sendiri. Namun di Burma, khayalan itu telah dilambungkan sampai ke tingkat di mana korelasinya dengan realitas dan akal sehat benar-benar tak terjembatani. Bulan Februari 2006, Menteri Perencanaan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Burma melansir data pertumbuhan ekonomi Burma sebesar 12 persen tahun 2004 dan 12,2 persen tahun 2005. Sungguh luar biasa! Bila ini benar, berarti Burma lah negara dengan pertumbuhan ekonomi terpesat sedunia dalam dua tahun itu, mengalahkan negara-negara maju manapun serta mematahkan logika dan seluruh bangunan teori ekonomi.
Khayalan ini sesungguhnya turut ditopang oleh asumsi ekonomi lain yang tak kurang melesetnya, bahwa tercakupnya suatu negara ke dalam pasar bebas dunia bisa mendatangkan demokrasi bagi negara itu. Junta Militer Burma sendiri sesungguhnya merupakan buah dari asumsi ini, yang digencarkan lewat tekanan dunia internasional setelah perjuangan demokratis rakyat Burma diberangus tahun 1988.
Junta memutuskan untuk menanggalkan kebijakan sosialisme tertutup dari masa pemerintahan Jenderal Ne Win dan beralih menerapkan kebijakan ekonomi “pintu terbuka” untuk menarik datangnya modal asing dan mengubah sistem perekonomian Burma menjadi perekonomian pasar. Dunia menyambut baik keterbukaan ekonomi ini sebagai langkah awal sistematis Burma menuju keterbukaan politik.
Nyatanya tidak demikian. Katherine Barbieri menyebut asumsi ini tak lebih dari “ilusi liberal”. Dalam bukunya yang menarik meski sangat teknis dan penuh rumus, The Liberal Illusion: Does Trade Promote Peace? (2002), Barbieri menulis,
“Banyak kaum liberal berpendapat bahwa perdagangan bisa dan harus dipakai sebagai pengganti strategi militer dalam kebijakan luar negeri. Termasuk di dalamnya penerapan kebijakan ‘keterlibatan konstruktif’ dalam upaya mengubah perilaku yang tak dikehendaki suatu negara lain, termasuk agresi dalam dan luar negeri dari negara sasaran. Di sini kaum liberal bersikukuh, dan banyak yang meyakini, bahwa perdagangan mampu mengubah rezim-rezim otoritarian paling penindas menjadi masyarakat demokratis yang cinta damai.”(hlm. 2)
Toh ilusi tinggal ilusi. Peralihan mendadak dari rezim tertutup menjadi pasar terbuka tanpa dibarengi penguatan tatanan demokratis dan masyarakat sipil di dalam negeri justru melahirkan perselingkuhan antara petinggi-petinggi militer dengan dunia bisnis internasional. Memang, investasi asing mengalir masuk, tapi terbatas pada sektor minyak dan gas alam yang sangat sentralistis sehingga sulit diminta akuntabilitasnya. Burma pun mengalami masa-masa kejayaan “boom minyak” sebagaimana Indonesia tahun 1970-an. Tapi ada bedanya. Bila “boom minyak” Indonesia punya andil langsung maupun tak langsung dalam mengembangkan industri manufaktur serta sektor jasa, dan dengan demikian turut membentuk kelas menengah Indonesia, di Burma proses pembentukan kelas menengah ini tidak terjadi. Uang hasil minyak dan gas alam benar-benar mengucur masuk ke kantung petinggi-petinggi militer dan tidak dipakai untuk mengembangkan industri lainnya.
Investasi di Burma harus dilaksanakan dalam bentuk joint venture dengan usaha-usaha milik Departemen Pertahanan. Sejak membuka pintu bagi investasi asing, personel militer di Burma melesat dari 180.000 ke 400.000 orang, dan membuat militer Burma tergolong kesatuan tentara terbesar di Asia yang anggaran belanja militernya memakan sekitar sepertiga sampai separuh anggaran negara. Junta membeli 10 pesawat tempur MIG dari Rusia dengan uang hasil pembelian minyak oleh Thailand dari ladang-ladang di Teluk Martaban yang dioperasikan oleh perusahaan minyak Total dan Unocal (yang nantinya diakuisisi oleh Chevron).
Kehidupan rakyat banyak sama sekali tidak membaik oleh ekspansi sektor minyak dan gas alam ini, yang bisa kita lihat jelas perbandingannya dengan Indonesia dari indikator-indikator kemiskinannya. Satu contohnya: tahun 1950-an angka kematian bayi di Indonesia jauh lebih tinggi dari Burma, yakni 201 banding 178. Namun pada tahun 2000, saat angka kematian bayi di Indonesia turun ke angka 40, Burma masih di angka 87 (data PBB tahun 2000).
Junta juga mengabaikan realitas bahwa hampir 70 persen rakyat Burma masih menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Bila aliran modal asing ke sektor minyak dan gas alam meningkat dari AS$44 juta (2003) menjadi AS$54,3 juta (2004), aliran modal asing ke sektor pertanian justru anjlok drastis dari AS$26,4 juta ke AS$2,6 juta pada tahun yang sama. Permodalan dalam negeri pun juga tidak tersedia. Kurang dari 3 persen kredit perbankan lokal mengucur ke sektor pertanian, dan akibatnya 80 persen pelaku pertanian tidak mendapat akses kredit.
Kondisi ini masih diperparah oleh keputusan-keputusan Junta yang kerap kontroversial dan tak punya dasar logis, seperti misalnya menaikkan harga BBM 8 kali lipat pada 2005, meliberalisasi pasar beras di tengah kesulitan yang menghimpit petani, atau tanpa mengindahkan inflasi yang kian membengkak, terus mencetak uang untuk membiayai belanja militernya.
Dalam masyarakat yang terbelah antara militer yang serba-berkuasa dengan rakyat yang serba-sengsara, tanpa adanya kelas menengah yang terbentuk dengan cukup solid, maka sepertinya tidak mengherankan bila akhirnya kaum biksu lah yang mengambil peranan mengangkat suara ketika ketidaklogisan keputusan Junta sudah tidak bisa ditolerir lagi. Dinaikkannya kembali harga BBM tahun 2007 ini benar-benar membuat rakyat tidak mungkin bisa hidup.
Di tengah semua itu, bisnis-bisnis asing yang menjadi mitra Junta terbukti tidak berbuat apa-apa selama kepentingan mereka tidak terusik. Karena itulah Barbieri menyatakan dengan pedas bahwa dalam satu hal ilusi liberal itu memang benar: perdagangan memang bisa mendatangkan damai, tapi bukan dalam arti “mengubah rezim-rezim otoritarian paling penindas menjadi masyarakat demokratis yang cinta damai” melainkan “sikap damai komunitas bisnis disebabkan oleh kepentingan ekonomi mereka. ….bisnis akan menggalang sikap menentang perang (konflik) demi mempertahankan hubungan dagang.” (hlm. 26).
Inilah yang jelas-jelas membuat perdagangan tidak bisa dipakai sebagai metode mendorong demokratisasi di Burma, baik melalui membuka hubungan dagang maupun dengan menerapkan sanksi atau embargo perdagangan. Penerapan embargo terhadap Burma menurut beberapa riset justru telah memperburuk kehidupan rakyat, sementara dampaknya terhadap Junta minim sekali. Dengan embargo AS dan beberapa negara Eropa sekalipun, Junta Militer masih bisa berbisnis dengan Cina, India, atau Thailand. Pemerintahan negara-negara dunia juga tidak bisa berbuat lebih selain “menghimbau” agar perusahaan-perusahaan mereka tidak berinvestasi di Burma, seperti Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menghimbau agar Total menghentikan investasinya di sana. Namun dalam siaran persnya, Total justru berargumen bahwa “Kepergian kami akan memperburuk situasi rakyat Burma.”
Dengan demikian dukungan nyata terhadap demokratisasi di Burma harus ditempuh lewat dukungan terhadap gerakan demokrasi dalam negeri Burma itu sendiri. Selama “ilusi liberal” itu belum ditanggalkan, selama masih ada kepentingan ekonomi yang tersembunyi maupun terang-terangan, sungguh sulit mengharapkan dunia internasional bisa punya dampak menekan Junta Militer Burma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar